DOWNLOAD

Sabtu, 16 Juli 2011

Teori/konsep belajar mengajar


Teori Belajar dan Konsep Mengajar
A.      Latar Belakang
Sistem pembelajaran konvensional di sekolah kian diyakini sebagai sistem yang tidak efektif lagi. Konsep-konsep kemampuan otak, kecerdasan, dan kreativitas telah berkembang pesat dan makin menguatkan argumentasi yang ingin mengoreksi kelemahan sistem pembelajaran konvensional. Sistem pembelajaran konvensional memiliki ciri-ciri antara lain kelas yang tertutup di sekolah yang juga tertutup dari lingkungan sekitarnya; setting ruangan yang statis dan sangat formal; guru menjadi satu-satunya sumber ilmu dan pengetahuan bagi siswa dan mengajar secara linier; menggunakan papan tulis sebagai sarana utama dalam proses transfer of knowledge; mengupayakan situasi dan kondisi belajar yang hening untuk mendapatkan konsentrasi belajar yang maksimal; menggunakan buku wajib yang cenderung menjadi satu-satunya referensi yang sah di kelas; serta model ujian dengan soal-soal pilihan ganda (multiple choices) yang hasilnya menjadi ukuran kemampuan siswa. Semua aspek dalam proses pembelajaran itu kini dinilai mengandung banyak kelemahan yang bahkan secara agregatif menjadi kontraproduktif terhadap pengembangan diri dan intelektual siswa.
Perubahan menuju kemajuan yang dialami oleh suatu bangsa amat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Kita bisa mengambil contoh mudah dari apa yang dialami bangsa Jepang ketika mereka bangkit dari keterpurukan akibat perang dunia II. Jepang kini bisa kembali berjaya dan menjadi raksasa Industri yang sangat diperhitungkan oleh dunia karena keberhasilan pemerintahnya dalam mengelola pendidikan. Pendidikan berkualitas dengan sokongan dana yang memadai telah menjadikan Jepang sebagaimana kita lihat dewasa ini.
Walaupun terlambat, kesadaran akan pentingnya mengedepankan pengelolaan pendidikan yang berkualitas sebagaimana di Jepang kini juga sudah mulai bisa kita rasakan di sini. Selain melakukan pembaharuan dan perombakan kurikulum secara kontinyu, pemerintah juga sudah mengupayakan pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20% dari total RAPBN sesuai amanah UUD 1945. Seiring dengan upaya tersebut, DPR RI juga sudah mensyahkan RUU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini di antaranya mengatur bagaimana sertifikasi guru dan dosen profesional di laksanakan. Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi di lapangan, ide besar dari disyahkannya RUU tersebut adalah pendidikan di Indonesia akan mengalami lonjakan kualitas jika para guru dan dosennya sejahtera, kompeten, dan profesional.
Bangsa yang berkualitas adalah bangsa yang maju pendidikannya. Karena pendidikan adalah penentu sebuah bangsa menjadi berkembang dan berkualitas. Kiranya komitmen dan cara pandang seperti inilah yang seharusnya dimiliki dan tertanam dalam pikiran semua orang dalam suatu bangsa. Karena pendidikan merupakan sesuatu yang sangat vital bagi pembentukan karakter sebuah peradapan dan kemajuan yang mengiringnya. Karena itu, sebuah peradapan yang memperdayakan akan lahir dari suatu pola pendidikan dalam skala luas yang tepat guna dan efektif bagi konteks dan mampu menjawab segala tantangan zaman.

B.       Permasalahan
1.    Kita perlu melakukan pembaharuan landasan teoritik dan konseptual tindakan pembelajaran agar cocok dengan tuntutan era baru.
(a)      identifikasi persoalan pembelajaran yang aktual yang terjadi di masa kini.
(b)      Identifikasi pola pikir (paradigma) yang cocok digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan tersebut.
(c)      Bagaimana deskripsi singkat tentang kemungkinan implementasi paradigma tersebut.
2.    Deskripsi tentang paradigma behavioristik dan bagaimana implementasinya dalam sistem persekolahan di Indonesia.
3.    Pembelajaran Quantum berangkat dari paradigma konstruktivisitk.  Bagaimana implementasinya dalam sistem persekolahan di Indonesia saat ini.

C.      Identifikasi persoalan pembelajaran yang aktual yang terjadi di masa kini
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang begitu pesat pada era globalisasi, membawa perubahan yang sangat radikal. Perubahan itu telah berdampak pada setiap aspek kehidupan, termasuk pada sisyem pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan yang luar bisaa itu terbentuknya suatu kumonitas global, lebih parah lagi karena komunitas global itu ternyata tiba jauh lebih cepat dari yang diperhitungkan: revolusi informasi telah menghadirkan dunia baru yang benar-benar hyper-reality.
Manusia tidak bisa lagi hanya bergantung pada seperangkat nilai, keyakinan, dan pola aktivitas sosial yang konstan. Manusia dipaksa secara berkelanjutan untuk menilai kembali posisi sehubungan dengan faktor-faktor tersebut dalam rangka membangun sebuah konstruksi sosial-personal yang mungkin atau yang tampaknya memungkinkan. Jika masyarakat mampu bertahan dalam menghadapi tantangan perubahan di dalam dunia pengetahuan, teknologi, komunikasi serta konstruksi sosial budaya ini, maka kita harus mengembangkan proses-proses baru untuk menghadapi masalah-masalah baru ini.
Kita tidak dapat lagi bergantung pada jawaban-jawaban masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut begitu cepatnya tidak berlaku seiring dengan perubahan yang terjadi. Pengetahuan, metode-metode, dan keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal yang ketinggalan zaman hampir bersamaan dengan saat hal-hal ini memberikan hasilnya. Degeng (1998) menyatakan bahwa kita telah memasuki era kesemrawutan. Era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun mampu menolaknya. Kita harus masuk di dalamnya dan diobok-obok. Era kesemrawutan tidak dapat dijawab dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus dijawab dengan paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan pendidikan di AS. Unsur terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan apa yang mampu dan mau dilakukan oleh si belajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa individunya berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan individunya.

D.    Identifikasi pola pikir (paradigma) yang cocok digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan tersebut.
Altenatif pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia yang sedang menempatkan reformasi sebagai wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga di segala bidang. Selama ini, wacana kita adalah behavioristik yang berorientasi pada penyeragaman yang pada akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum. Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit virus kesamaan, virus keteraturan, dan lebih jauh virus inilah yang mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan bernegara.
Longworth (1999) meringkas fenomena ini dengan menyatakan: Kita perlu mengubah fokus kita dan apa yang perlu dipelajari menjadi bagaimana caranya untuk mempelajari. Perubahan yang harus terjadi adalah perubahan dari isi menjadi proses. Belajar bagaimana cara belajar untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal yang lebih penting daripada fakta-fakta dan konsep-konsep yang dipelajari itu sendiri.
Oleh karena itu, pendidikan harus mempersiapkan para individu untuk siap hidup dalam sebuah dunia di mana masalah-masalah muncul jauh lebih cepat daripada jawaban dari masalah tersebut, di mana ketidakpastian dan ambiguitas dari perubahan dapat dihadapi secara terbuka, di mana para individu memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukannya untuk secara berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah dunia yang terus berubah, dan di mana tiap-tiap dan kita menjadi pemberi arti dari keberadaan kita. Beare & Slaughter (1993) menagaskan, Hal ini tidak hanya berarti teknik-teknik baru dalam pendidikan, tetapi juga tujuan baru. Tujuan pendidikan haruslah unutk mengembangkan suatu masyarakat di mana orang-orang dapat hidup secara lebih nyaman dengan adanya perubahan daripada dengan adanya kepastian. Dalam dunia yang akan datang, kemampuan untuk menghadapi hal-hal baru secara tepat lebih penting daripada kemampuan untuk mengetahui dang mengulangi hal-hal lama.
Kebutuhan akan orientasi baru dalam pendidikan ini terasa begitu kuat dan nyata dalam berbagai bidang studi, baik dalam bidang studi eksakta maupun ilmu-ilmu sosial. Para pendidik, praktisi pendidikan dan kita semua, mau tidak mau harus merespon perubahan yang terjadi dengan mengubah paradigma pendidikan. Untuk menjawab dan mengatasi perubahan yang terjadi secara terus-menerus, altenatif yang dapat digunakan adalah paradigmna konstruktivistik.

E.     Deskripsi tentang kemungkinan implementasi paradigma Konstruktivisme
Konstruktivisme Vygotsky memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan melalui adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1),  mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai  mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona  of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Pengetahuan berjenjang tersebut seperti pada sekema berikut.
Pengetahuan  dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat  bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas. (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.

F.     Paradigma behavioristik dan bagaimana implementasinya dalam sistem persekolahan di Indonesia

Hakikat Pembelajaran Behavioristik
Thornike, salah seorang penganut paham behavioristik, menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang sisebut stimulus (S) dengan respon yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbeagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan keneksi atau ikatan-ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thondike ini disebut teori asosiasi.
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hokum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon serting terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hokum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan  yang telah terbentuk akibat tejadinya asosiasi antara stimulus dan respon dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hamper senada dengan hokum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus  respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negative adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).

G.    Pembelajaran Quantum berangkat dari paradigma konstruktivisitk.  Bagaimana implementasinya dalam sistem persekolahan di Indonesia saat ini
Belajar kuantum berakar dari prinsip “suggestology” atau “suggestopedia” yang dikembangkan oleh Geogi Lozanov yang menjelaskan bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil belajar, dan setiap detail apapun memberikan sugesti positif ataupun negatif. Artinya, hasil belajar yang dicapai oleh anak didik (pembelajar) akan baik apabila lingkungan, proses, dan sumber-sumber belajar memberikan sugesti positif pada dirinya, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, agar terjadi belajar kuantum, ciptakanlah lingkungan belajar terbaik bagi anak didik. Lingkungan belajar yang dapat menimbulkan pikiran dan sikap positif. Lingkungan belajar yang aman dan mendukung bertumbuh dan berkembangnya kepercayaan dan citra diri anak didik. Lingkungan belajar dengan suasana nyaman, indah, cukup penerangan, dan bila perlu disertai alunan musik, dan dudukung oleh proses belajar yang variatif, banyak terobosan, perubahan, permainan yang edukatif, partisipatif, serta sumber-sumber belajar yang dapat memberi pengalaman yang mampu meningkatkan “AMBAK” dan menimbulkan getaran emosi (emotional thrill) pada diri anak didik, “AHA”.
Lingkungan dan suasana belajar demikian akan mendorong kemunculan sugesti-sugesti positif sehingga menjadi cahaya yang mampu menjadi lokomotif yang dapat membangkitkan energi belajar. Ingatlah rumus yang sangat terkenal dalam fisika kuantum (E = m.c2), energi sama dengan massa kali kuadrat kecepatan cahaya. Pemberian label “belajar kuantum“ sesungguhnya meminjam dari konsep fisika kuantum. Kenyataannya memang benar bahwa tubuh kita secar fisik adalah materi yang memiliki massa dan dilengkapi dengan seperangkat peralatan belajar termasuk otak. Ketika belajar, kita membutuhkan sebanyak mungkin cahaya: kepercayaan diri, minat, motivasi, AMBAK, interaksi, hubungan, kooperasi-kolaborasi, dan inpirasi untuk diubah menjadi energi pembangkit belajar.
Belajar kuantum juga terkait dengan aspek-aspek penting dari neurolinguistic program (NLP), yaitu serangkaian penelitian yang mengkaji tentang bagaimana otak bekerja dalam mengatur informasi. Dengan demikian, belajar kuantum menghubungkan dua bidang utama, yaitu hasil-hasil penelitian modern tentang otak yang menakjubkan dengan kekuatan dari kemudahan memperoleh informasi dan pengetahuan. Artinya, untuk membelajarkan anak, kita juga harus belajar bagaimana memanfaatkan sumberdaya yang sangat brilian dalam diri manusia, hampir tidak terbatas daya atau kemampuannyanya yang terdiri dari milyaran sel dan trilyunan penghubung, yaitu otak. Selain itu, kemudahan dalam menggali informasi dalam berbagai bentuk, hampir semua orang berkesempatan untuk memanfaatkannya, dan menghubungkan setiap orang dalam jaringan global melalui jaringan internet yang disebut learning web, harus kita manfaatkan seoptimal mungkin untuk mempercepat revolusi pembelajaran melalui informasi dan inovasi. Selanjutnya, merupakan kewajiban kita sebagai guru untuk mengemasnya dalam bentuk aktivitas pembelajaran untuk membelajarkan anak didik.
Belajar kuantum juga terkait erat dengan konsep “percepatan belajar” (accelerated learning), yaitu yaitu seperangkat metode dan teknik pembelajaran yang memungkinkan anak didik belajar dengan kecepatan yang mengesankan, tetapi melalui upaya yang normal dan penuh keceriaan. Belajar kuantum  menyatukan permainan, hiburan, cara berpikir dan bersikap positif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional yang terpelihara yang dikemas secara sinergi dalam aktivitas pemebelajaran mendorong terjadinya belajar yang efektif sehingga memungkinkan terjadinya percepatan belajar .
Gambaran ringkas tentang belajar kuantum sebagaimana diutarakan di atas memberi isyarat kepada kita bahwa pembelajaran yang orientasi tujuannya didominasi oleh upaya peningkatan kemampuan kognitif saja, saat ini sudah tidak layak lagi. Hasil penelitian Daniel Goleman  memberi bukti yang cukup mengejutkan bahwa aspek kognitif atau intelektual hanya 20% sumbangannya terhadap keberhasilan seseorang dalam hidupnya, selebihnya yaitu 80% ditentukan oleh kecerdasan emosional. Artinya kecerdasan emosional dan kecerdasan-kecerdasan lainnya, sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual. Kenyataan ini mendorong dilakukannya reorientasi tujuan dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Pembelajaran seyogyanya dilaksanakan dengan tujuan yang lebih berdeferensiasi mencakup bukan hanya pada upaya peningkatan kecerdasan intelektual, melainkan juga mencakup kecerdasan emosional dan kecerdasan lainnya, karena manusia memiliki kecerdasan majemuk (multiple intelligence), dan belajar kuantum memungkinkan untuk itu, jika dilaksanakan dengan baik dan terencana.
Pada akhir bagian ini sekali lagi ditekankan bahwa revolusi pembelajaran mutlak perlu dilakukan karena pembelajaran dewasa ini terlalu banyak mengandalkan pada kemampuan mendengar anak  dalam menangkap materi pembelajaran, sehingga hasil belajar yang dicapai  tidak maksimal. Padahal manusia adalah makhluk unik, ia bisa belajar melalui : (1) pendengaran, (2) penglihatan, (3) pengecapan, (4) sentuhan, (5) penciuman, (6) melakukan, (7) hayalan, (8) intuisi, dan (9) perasaan. Semua kemampuan itu harus diberdayakan agar kemampuan-kemampuan itu terlatih sekaligus pembelajaran menjadi lebih efektif. Fleksibilitas metode dan teknik dalam belajar kuantum memungkinkan untuk memberdayakan semua kemampuan itu.
Fornot mengemukakan aspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget  bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotsky disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti memberikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar